Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek mendorong percepatan pengembangan transportasi umum berbasis listrik di wilayah Jabodetabek melalui quick win pengembangan rute angkutan umum berbasis jalan. Ekosistem transportasi publik ramah lingkungan bisa terwujud jika ada sinergi lintas kementerian dan lintas sektor.
Wakil Ketua Umum MTI Djoko Setijowarno menilai, dalam membangun ekosistem transportasi publik, khususnya yang berbasis listrik atau baterai, pemerintah perlu menguatkan kebijakan dengan menetapkan transportasi publik sebagai prioritas wajib dan dasar pelayanan masyarakat. Untuk itu, perlu ada revisi Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam revisi itu, perhubungan harus masuk kebutuhan dasar. Revisi perlu menyertakan penguatan peraturan daerah angkutan umum, yaitu 5 persen untuk angkutan umum. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri perlu memasukkan pedoman untuk mencari pembiayaan angkutan massal.
”Anggaran untuk perhubungan ini sangat rendah, rata-rata di bawah 1 persen. Tiga persen hanya DKI dan Solo,” ujar Djoko. Seiring dengan penguatan kebijakan dasar pelayanan masyarakat, mau tak mau pemerintah daerah akan memprioritaskan pengadaan kendaraan hingga rute. Sarana dan prasarana yang terbangun ini akan membuat masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal.Dalam membangun ekosistem itu pula, pemerintah memang perlu melakukan kolaborasi lintas sektor, seperti dengan perbankan dan pengembang perumahan, khususnya di wilayah Bodetabek.”Meski begitu, tetap transports publik harus disubsidi oleh pemerintah karena ini bagian dari kewajiban pemerintah,” lanjutnya. Selain lintas sektor, agar terwujud ekosistem bertransportasi massal, perlu ada juga kolaborasi dari tingkat kementerian. Menurut Djoko, kondisi transportasi publik masih buruk karena di level kementerian tidak sejalan akibat kepentingan atau ego sektoral.
KEMENPRIN justru melakukan kebijakan dengan kendaraan pribadi listrik, seharusnya yang diperluas dan diperbanyak kendaraan angkutan massalnya. Mereka justru mendorong untuk membeli motor listrik, padahal kebutuhannya transportasi massal. Kendaraan bermotor ini sudah sangat tinggi di Jabodetabek,” kata Djoko. Kementerian Perindustrian, lanjutnya, memiliki program insentif kendaraan listrik sebesar Rp 12,3 triliun. Namun, program itu dinilai kurang jelas karena tidak merinci jenis kendaraannya. Lalu, KeMENPRIN menambah program dengan membeli bus dalam dua tahun anggaran 2023-2024 sebanyak 552 unit. Pengadaan kendaraan itu pun menyisakan pertanyaan karena akan diberikan ke kota mana saja. Tidak adanya komunikasi terbuka dengan Kemenperin membuat pengadaan bus itu tidak jelas.
”Itu beli busnya dari mana? Kita Indonesia sudah ada produksi dalam negeri, Inka. Baiknya pengadaan bus ini bisa melalui Inka. Produk-produk Inka sudah kita banggakan saat G20,” kata Djoko. Seharusnya, ujarnya, pemerintah melalui kementerian-kementerian mendorong produksi dan pembelian bus listrik dalam negeri, bukan dari luar negeri. ”Ini bukan membenturkan, tapi kita melihat ada krisis transportasi publik. Apa langkahnya untuk mengatasi kritis ini agar menikmati layanan standar minimum transportasi,” ujarnya.
Sumber : Kompas.id