Oleh: Forum Kebijakan Digitalisasi Transportasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)
Ketika kota-kota di Indonesia berupaya membangun sistem angkutan massal yang efisien dan terjangkau, satu komponen tak boleh tertinggal: Intelligent Transport System atau ITS. Namun sayangnya, ITS masih kerap diperlakukan sekadar sebagai proyek pengadaan alat—berakhir pada katalog perangkat keras dan perangkat lunak tanpa fondasi kebijakan yang jelas.
Padahal ITS sejatinya bukan sekadar teknologi. Ia adalah sistem saraf layanan transportasi massal modern. ITS memungkinkan pengelolaan armada secara real-time, pemantauan waktu tiba bus secara akurat, perhitungan beban subsidi berbasis data, hingga pemetaan kebutuhan rute secara dinamis. Jika dirancang dan dioperasikan dengan tepat, ITS akan menjadi tulang punggung layanan Bus Rapid Transit (BRT) yang hemat subsidi, bukan membebani fiskal.
Persoalannya bukan pada alat yang digunakan, tetapi pada absennya kerangka kebijakan, standar teknis, dan tata kelola yang membuat teknologi ini terhubung dengan misi pelayanan publik.
Dalam sistem BRT, ITS tidak berjalan sebagai sistem tunggal. Ia terdiri dari pusat kendali (BOCC), sistem manajemen armada (FMS), tiket elektronik (AFCS), kamera pengawas, informasi penumpang, dan sistem pemantau lalu lintas. Semua komponen ini harus dikaitkan langsung dengan tujuan layanan: menurunkan waktu tunggu, meningkatkan ketepatan jadwal, dan mengurangi pemborosan BBM serta subsidi.
Sayangnya, di banyak kota, ITS dibangun setelah layanan berjalan. Akibatnya, data tidak terkumpul, operasi tidak termonitor, dan efisiensi tidak tercapai. ITS justru menjadi beban, bukan solusi. Ini bukan karena teknologinya gagal, tapi karena desain kebijakannya absen.
Satu kesalahan yang sering berulang adalah pembangunan ITS yang tidak mengikuti tahapan pengembangan BRT. Perangkat hadir ketika layanan sudah berjalan. Padahal, jika ITS seperti sistem pelacakan bus atau perangkat di dalam armada dipasang sejak awal, banyak keputusan operasional bisa diambil lebih akurat. Ini soal logika manajemen proyek yang mendahulukan sistem pendukung sebelum layanan dioperasikan—sebuah prinsip dasar dalam ilmu sistem transportasi dan manajemen infrastruktur publik.
Selain itu, kita masih sering melihat sistem baru dibangun tanpa memanfaatkan infrastruktur lama. Di banyak kota, ITS seperti ATCS atau sistem e-ticketing sudah ada. Namun alih-alih diintegrasikan, justru ditinggalkan. Padahal secara teknologi, sistem lama bisa dihubungkan dengan yang baru melalui middleware atau antarmuka terbuka. Dalam praktik ilmu IT, ini dikenal sebagai interoperabilitas, dan menjadi standar di negara-negara dengan sistem transportasi yang matang.
Masalah berikutnya muncul pada perancangan sistem backend: apakah ITS harus terpusat di tingkat nasional atau dikelola masing-masing kota? Ini bukan semata pertanyaan teknis, tapi menyangkut efisiensi anggaran, keamanan data, dan kesinambungan layanan. Sistem terpusat menjamin keseragaman dan efisiensi pemeliharaan, tapi rentan terhadap kelambatan jika kapasitas daerah tidak dibangun. Sebaliknya, desentralisasi memberi keleluasaan lokal, tetapi rentan terhadap perpecahan sistem dan pemborosan.
Untuk itu, MTI mendorong agar pemerintah menyusun Framework ITS BRT Nasional. Ini bukan hanya soal standar teknis, tetapi juga arsitektur sistem terbuka, pembagian peran kelembagaan, dan keterkaitan langsung dengan indikator layanan. Framework ini akan menjadi panduan semua kota untuk mengembangkan ITS yang kompatibel satu sama lain, sekaligus hemat biaya.
Tak kalah penting adalah kebutuhan akan roadmap pembangunan ITS yang modular dan kontekstual. ITS tidak harus dibangun sekaligus. Kota dapat memulai dari sistem sederhana: pelacakan bus, informasi penumpang, dan tiket digital. Seiring kapasitas fiskal dan kelembagaan berkembang, sistem dapat ditingkatkan menjadi pusat kendali terintegrasi. Prinsip ini dikenal dalam teori sistem sebagai scalable architecture, dan terbukti efektif dalam pengembangan layanan publik di berbagai negara.
Namun sistem yang baik tidak akan berjalan tanpa kepastian tata kelola. Banyak proyek ITS gagal bukan karena teknologinya, tapi karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab saat sistem rusak, lisensi kadaluarsa, atau vendor mundur. Oleh karena itu, kejelasan pemilik aset, penanggung jawab data, serta mekanisme koordinasi antarlembaga mutlak dibutuhkan. Semua harus dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS), bukan hanya dicatat dalam dokumen tender.
Dari sisi keberlanjutan, pemerintah juga harus belajar dari pengalaman negara lain. Banyak ITS di India, Filipina, dan Afrika Selatan yang berhenti berfungsi setelah proyek donor berakhir. Karena itu, biaya operasional dan pemeliharaan (O&M) ITS harus sudah masuk dalam dokumen perencanaan daerah—RKPD, Renstra, bahkan APBD. Di sinilah peran pemerintah pusat dalam merancang skema insentif dan pendanaan jangka panjang.
Tak kalah strategis adalah penyusunan standarisasi teknis nasional yang mendukung pengembangan industri lokal. Standar ini harus memastikan bahwa ITS dapat dikembangkan oleh mitra dalam negeri, tanpa ketergantungan pada satu vendor atau sistem proprietary. Open standard dan interoperabilitas adalah prinsip dasar yang telah diterapkan oleh negara seperti Singapura, melalui Transport Standards Committee mereka. Indonesia dapat belajar langsung, bahkan membangun kemitraan teknis lintas negara untuk mempercepat adopsi praktik baik.
Jika semua ini terwujud, maka ITS tidak akan berhenti sebagai sistem perangkat keras dan lunak. Ia akan menjadi sistem layanan publik—sebuah teknologi yang tak kasat mata, tapi terasa nyata bagi pengguna. Penumpang merasakan layanan yang teratur. Pemerintah dapat mengatur subsidi dengan lebih tepat. Operator mendapat data untuk meningkatkan efisiensi. Dan yang terpenting: kota dapat mengelola transportasi publik dengan biaya yang lebih rendah dan hasil yang lebih tinggi.
ITS bukan proyek teknologi. Ia adalah bagian dari strategi membangun kota yang lebih adil dan efisien. Maka, pengembangannya tidak bisa diserahkan pada vendor semata. Harus ada visi kebijakan, kepemimpinan kelembagaan, dan kerangka sistemik yang mengubah teknologi menjadi manfaat nyata.
Masyarakat Transportasi Indonesia percaya, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem ITS yang tidak hanya canggih, tapi juga berdaulat, hemat subsidi, dan berpihak pada layanan publik. Yang kita butuhkan bukan lebih banyak alat, tetapi lebih banyak arah.
Tulisan ini disusun oleh MTI Pusat sebagai bagian dari serial kebijakan Akses Nusantara untuk mendorong tata kelola transportasi massal yang efisien dan berkelanjutan di Indonesia. Untuk kolaborasi atau masukan, hubungi kami melalui Sekretariat MTI.